Kembali ke tahun 2015 mungkin banyak dari kita yang mendengar nama negara Yunani lalu lalang di media mendeklarasikan kebangkrutan karena tidak lagi mampu membayar utangnya. Yunani menambah deretan pelajaran bagi negara lain bagaimana seharusnya mengelola keuangan di kala perekonomian sedang baik-baik saja. Ibarat penyakit hipertensi, krisis ekonomi global 2008 kemudian unjuk gigi menjerat negara-negara mana yang ketahuan sangat rentan ekonominya meski di luar keliatan baik-baik saja. Begitu pun krisis global 2020 yang tau-tau menjerat Sri Lanka. Negara negara sejawat Uni Eropa lainnya seperti Islandia, Perancis, dan Spanyol sempat kesenggol krisis 2008 namun bisa berdiri lagi. Lalu kenapa Yunani terjatuh dan tak bisa bangkit lagi? Hasik.
Seperti yang banyak kita tahu Yunani sebelumnya adalah negara yang maju. Industri pariwisatanya sangat besar dengan 80% penduduknya bekerja di sektor jasa. Tipikal sektor dominan di negara-negara maju. Satu lagi yang ga banyak orang tahu, Yunani juga mengandalkan industri shipping-nya. Industri ini pada saat itu adalah yang terbesar di dunia sehingga nilainya cukup besar berkontribusi terhadap GDP Yunani apalagi dengan posisinya yang strategis di kawasan Mediterania. Sayangnya Yunani punya lahan produktif yang cukup terbatas karena banyak lahannya yang kering sehingga makanan banyak yang diimpor juga. Tapi ya gapapa sih, orang negara maju kok, sah-sah aja beli dari luar. Yang penting punya duit, berkah dan halal. Subhanallah... Cuma Yunani ga sadar semua ga akan berjalan sama terus seperti itu. Ada hal lain diam-diam lebih mencekam tanpa Yunani sadari. Apakah itu?
Ketika orang-orang berusaha survive di ekonomi yang tiba-tiba menjadi sulit, ambil contoh aja pada saat lockdown di masa pandemi kemarin, menurut ngana siapa yang lebih bisa bertahan? Jika orang-orang pada kehilangan pekerjaannya tentu yang masih menyimpan cash/cadangan uang cenderung dapat bertahan. Mereka masih mampu memenuhi kebutuhan pokoknya pun membayar kewajiban mereka hingga memperoleh pemasukan kembali. Negara pun begitu guys. Di makro ekonomi konsep seperti itu bernama “counter cyclical fiscal policy”. Jadi kalau ekonomi sedang baik-baik saja, dunia sedang tidak apa apa, akan lebih baik bagi suatu negara menyisihkan uang, menabung, apapun itu namanya. Kalau istilah kita-kitanya “dana tak terduga” gitu kali ya. Kalaupun nanti ga cukup, jika masih ada tabungan juga masih bakal aman. Ingat ga waktu pandemi pemerintah Indonesia pernah bagi-bagi duit buat yang pendapatannya dibawah angka tertentu buat mengganjal perekonomian. Ga Indonesia aja, Australia pada saat krisis global 2008 menjadi contoh negara yang posisinya begitu kuat karna mereka udah nyisihin banyak uang dari awal tahun 2000. Begitu krisis global menyerang, Australia mentransfer ke setiap rekening pembayar pajak sebanyak masing-masing $900 sebagai stimulus fiskal. And it worked! Orang orang udah mulai jajan boba lagi, hunting diskon 11.11 lagi di shopee, permintaan mulai muncul lagi, produsen mulai memproduksi kembali, karyawan yang dirumahkan mulai direkrut lagi. Beda cerita dengan Yunani yang begitu terlena dengan masa-masa indahnya dan jauh dari teori tersebut. Sebagaimana sudah pernah saya tulis bagaimana dana mengalir di pemerintah suatu negara disini (pada bagian akhir), negara memperoleh dana dari pajak dan non pajak lalu mengelolanya sebaik mungkin untuk berbagai keperluan, bayar utang, surplus, défisit, bla bla bla bisa dipelajari sendiri. Manajemen fiskal (pajak) Yunani pun dipandang tidak sehat dari kedua sisi baik penerimaan maupun pengeluaran. Yunani terkenal terlalu dermawan untuk rakyatnya dengan memberikan bantuan sosial buat pengangguran, sehingga kadang, pengangguran ada yang sampai malas mencari kerja sehingga kaum rebahan pun ga perlu risau dengan masa depannya. Tak lupa dengan semangat Yunani buat jadi tuan rumah Olimpiade 2004 (pada ingat kan?) dengan biaya triliunan yang bikin defisit makin melebar. Yang penting party guys! Mengenai Olimpiade ini ada yang menarik juga sabi Kali dibahas kapan kapan kenapa udah ga banyak yang mau jadi tuan rumah olimpiade. Di saat bersamaan, Yunani menerapkan tarif pajak yang rendah. Katanya sih tarif pajak sempat dinaikkan, sayang sekali, tetap saja Yunani juga kurang galak buat ngumpulinnya. Contohnya saja, banyak banget laba dan income ga ke-record, bahkan kalaupun pencatatannya ada, ga banyak juga yang berakhir sebagai pajak. Sedih. Bahkan nih ya, industri shipping yang diandalkan, perusahaan besarnya pun ga banyak yang nyetor pajak income ke pemerintah. Kenapa bisa? Karena banyak juga yang kantor pusat didirikan di Swiss, terus kapalnya diregistrasikan di Malta atau Panama. Pelayarannya pun banyak yang disembunyikan. Aduhh.. Pengeluaran boros, utang makin menumpuk, pemasukan juga ga banyak. Sungguh gaya hidup yang tidak sustainable dan menunggu bom waktu.
Ketika bom waktunya datang di tahun 2008. Sudah bisa ditebak nasibnya ya teman-teman, Yunani ga punya uang cadangan buat mengganjal perut, boro boro buat nyicil utang. Pada situasi seperti ini teorinya sih negara sebaiknya malakukan austerity measures, yuyur saya ga tau bahasa indonya hehe, tapi kurang lebih semacam pengetatan fiskal gitu, yang mana tarif pajak dinaikkan, pengeluaran dipotong sana-sini, termasuk dana sosialnya demi menekan defisit dan meningkatkan kemampuan bayar utang. Biasanya orang beranggapan (kayaknya di kuliah juga diajarin deh) kalau utang pemerintah (obligasi) itu termasuk investasi yang aman karena harusnya pemerintah kalau lagi kesulitan bayar utangnya ya tinggal menggenjot pajak aja ya ga sih. Ya ga salah sih. Cuma ini yang pada ngasih utang/beli obligasinya ga banyak yang sadar kalau proses austerity measures ini ga segampang itu. Kok bisa? Gimana pemerintah bisa narikin pajak lebih banyak ketika ekonomi lagi sulit? Bisnis lagi pada jatuh dan merugi, pajak apa yang mau disetor? Wkwk. Pajak perorangan pun begitu. Orang-orang pada kehilangan pekerjaan, boro-boro bayar pajak, buat kebutuhan sehari hari aja ingin menangis memikirkannya.
Lalu bagaimana Yunani melalui masa-masa sulit tersebut hingga baru menyatakan bangkrut pada 2015? Sebelum itu mari kita flashback lagi ke tahun 1999 (Mohon maaf ya alurnya maju cantik). Pada tahun tersebut Uni Eropa meluncurkan mata uang bersama yaitu Euro which is masih digunakan sampai sekarang. Tentulah para negara anggota bersorak sorai karena kursnya bakal semakin kuat posisinya dan ekonomi negara yg lagi anjlok dapat diredam oleh anggota lain, apalagi anggota Uni Eropa hampir semuanya negara kuat. Meskipun Yunani juga anggota Uni Eropa, tapi ga boleh terlanjur senang dulu, dana-dana sosial yang ga produktif yang dikeluarkan oleh Yunani ikut bikin rasio utang terhadap GPD (debt to gdp ratio) Yunani sudah melebihi 60% yang merupakan syarat maksimal debt to gdp ratio yang disyaratkan untuk menggunakan Euro. Debt to gdp ratio itu semacam ukuran kemampuan bayar utang suatu negara guys. Misal A sama B sama sama punya utang 50juta, dari sini kita belum bisa menilai 50 juta ini utang yang besar atau kecil nih, besar atau kecilnya ya harus dilihat dari kemampuan bayarnya si A sama si B. Anggaplah A punya income 100jt, sedangkan B cuma punya income 25jt. Tentu di mata B utang segitu tuh gede. Karna kalau di bandingkan sama income, rasio utang terhadap income A adalah 50/100 atau bebannya cuma setengah income-nya si A, sedangkan B bebannya jadi dua kali income-nya. FYI, debt to gdp Indonesia masih dibawah 60% kok guys. Yang ngeliat utang negara kita besar cuma dari angka yang triliunan-triliunan, ya di mata kita pribadi pasti gede lah. Tapi dilihat juga ekonomi kita juga nilainya fantastis kok.
Ok lanjut, Yunani dihadapkan oleh pilihan untuk memotong pengeluarannya atau menangis di pojokan merelakan Euro. Ditengah-tengah dilema ini datanglah Goldman Sachs, perusahaan investment banking asal Amerika, membawa secercah cahaya menawarkan opsi lain. Daripada Yunani harus melakukan reformasi yang berat dengan menghapus pengeluaran sosialnya, muncul ide untuk melakukan swap currency terhadap utang pemerintah. Mengenai swap currency mungkin bisa kita bahas di lain waktu ygy. Berkat ide tipu-tipu halal ini voilaa.. syarat pun terpenuhi, Yunani dapat mengucapkan selamat datang kepada Euro meskipun agak telat dibanding anggota lain. Dengan begitu, Yunani semakin gampang mendapatkan back up pendanaan dari Uni Eropa. Pengeluaran visi misi foya foyahh berlanjut terus dari utang Uni Eropa. Tiba-tiba krisis ekonomi global datang, boom! Yunani tak bisa mengendalikan kebijakan moneternya sendiri (mencetak dan menarik uang beredar untuk mengatur suku bunga melalui bank sentral, lain kali kita bahas kebijakan moneter juga ygy) karena gara-gara kurs Euro bank sentralnya otomatis sekarang adalah bank sentral eropa donk. Lebih parahnya lagi Yunani ketahuan melakukan tipu-tipu data yang awalnya dilaporkan defisit budget sebesar 6.7% ternyata aslinya sampai dengan 15%.
2010 datang, debt to gdp ratio sudah menyentuh 127%, rating kredit pun jatuh menjadi sampah atau junk. Perlahan Yunani tenggelam sampai akhirnya Troika (grup yang terdiri dari Uni Eropa, bank sentral eropa, dan IMF) mengulurkan tangan ke Yunani dengan duit segepok yang biasa kita sebut bailout. Buat apa tuh duitnya? Yunani diminta menggunakan uang tersebut buat bayar utang-utangnya ke kreditor terus diminta untuk benar-benar berkomitmen menaikkan pajak dan memotong pengeluarannya alias austerity measures yg tadi kita bahas. Berhasil kah? Kagak guys! Duitnya ga cukup buat nge-cover semua kreditor. Duit bailout abis dilahap kreditor plus yang namanya bailout sejatinya ya tetap saja utang, debt to gdp ratio Yunani melonjak hingga 170% tahun 2011, wadaw! Troika menyerah? Tidak guys! Troika masih berbaik hati menambah bailout sampai 130 Milyar Euro dengan syarat Yunani mau menegosiasi utangnya dengan kreditor untuk direstrukturisasi bahkan memotong utangnya hingga 53% (biasanya ngutang diperbankan juga mirip2 gini sih kalau udah mau koid), konon pemotongan segitu termasuk restrukturisasi terbesar sepanjang masa juga sih. pengeluaran pun makin dipotong termasuk pemotongan gaji dan PHK pegawai negeri. Terus apakah yang ini berhasil? Berhasil guys! Horay! Akhirnya setelah 2 tahun pemerintah mendapat surplus budget. Eits, masih ada PR lain. Keadaan ini meninggalkan kondisi rakyat Yunani menjadi menyedihkan. Aturan fiskal yang terlalu ketat membuat pemotongan gaji terjadi dimana-mana, tingkat pengangguran juga tinggi sampai di atas 25%. Penghasilan udah berkurang pajak yang harus dibayar pun juga makin tinggi. Rakyat marah! Rakyat tidak peduli lagi dengan utang negara! Rakyat ingin bertahan hidup! Rakyat lalu melampiaskan kekesalannya dengan memilih pemimpin baru yang kontra dengan pemerintah yang berjalan melalui pemilu tahun 2015. Lebih tepatnya pemimpin baru adalah yang kontra sekali dengan austerity measures. Dibawah kepemimpinannya ia meningkatkan pengeluaran pemerintah dan menegosiasi ulang Troika. Tentunya konsekuensinya malah defisit budget makin melebar kembali, kreditor kecewa, pemerintah dan Troika pun bersitegang. Utang makin ga bisa diperbaiki. Lalu... Tuan dan Puan, Yunani pun bangkrut. Menjadikannya negara maju pertama yang pernah mengalami default pada IMF. Pasar modal ditutup, sistem perbankan ditutup, kacau!
Rakyat kembali menuntut pemerintah untuk menerima bailout ke tiga yang ditawarkan Troika. Dengan kesepakatan baru kini Yunani berjalan kembali tertatih-tatih dengan ekonomi yang sudah menyusut seperempatnya, 1 dari 3 orang berpeluang miskin. Beruntungnya berkat kurs Euro, inflasi ga sampai segila Venezuela, rakyat Yunani juga masih lebih mampu menyelamatkan diri dibanding Sri Lanka karena dalam kawasan Uni Eropa arus manusia bisa bergerak bebas. Orang-orang yang punya skil pun pindah ke negara-negara yang lebih maju seperti Jerman, Belanda, dll. Alhasil, Yunani kini mulai ditinggal oleh warganya. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah Brain Drain.
Anti Austerity Movement di Yunani (sumber)
Austerity measures masih berlanjut dan menjadi perdebatan hingga sekarang. Menjadikan dilema bagi perekonomian Yunani. Saya sempat baca debat orang-orang (kebanyakan orang Yunani dan negara sekitarnya) di Quora mengenai ini (linknya disini). Baca deh sampe komen-komennya banyak orang Yunani yang kontra dan merasa dijebak Troika. Dengan pajak yang tinggi investor ga mau datang membuka lapangan kerja, yang sudah berpenghasilan makin terkuras hartanya. Pertumbuhan GDP pun ga bisa digenjot dari sisi pengeluaran pemerintah karna harus dihemat. Sedangkan yang pro berpendapat kalau austerity tidak dilanjutkan posisi keuangan Yunani akan semakin buruk. Tidak ada pula yang memaksa Yunani mengambil bailout apalagi mengambil utang-utang yang dulu-dulu. Yunani harus bertanggung jawab atas utangnya sendiri. Semoga Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Yunani ya. Sekian dulu. Ciao!



0 komentar:
Posting Komentar